Subscribe:

Pages

Sabtu, 29 November 2014

Harapan itu Masih Ada


Siapa mereka, tiba-tiba tampil fenomenal ke permukaan? Tak dikenal dan tak tahu dari mana asalnya, namun segera saja mengejutkan dan menggetarkan para elit politik busuk bangkotan berperut buncit timbunan lemak, hasil korupsi bahan bakar api jahanam. Dalam gelap pekat partai-partai politik yang lebih banyak dihuni tikus berdasi pengeruk harta rakyat yang terjepit harga sembako yang semakin melambung, biaya pendidikan yang semakin meningkat, ongkos kesehatan yang semakin menanjak dan sejumput tekanan persoalan hidup lainnya yang kusut melilit, mereka tampil ibarat setitik cercah cahaya di kejauhan yang terus melebar dekat, membesar bagai gelombang tak terbendung.

Unique and unpredictable, generasi baru berwajah teduh, berjenggot tipis dan berjilbab lebar bentukan kelompok kecil melingkar ruang segi empat hasil didikan (baca: tarbiyah) masjid-masjid kampus yang selama ini tak dikenal seketika melebar sayap. Aqidah yang kokoh dan fikrah yang terasah yang terpendam puluhan tahun bak mutiara di dasar laut menuntut pembuktian eksistensinya dalam carut-marut ranah politik Indonesia. Unique and unpredictable, menghadirkan budaya politik baru yang aneh, asing dan langka tak dikenal. Bagi sebagian besar politisi berotak kotor yang dijejali doktrin “aji mumpung”, mereka dianggap gila karena menolak uang suap dan atau fasilitas rumah dan mobil mewah. Mereka dianggap asing karena berdiri shalat di ruang sidang paripurna dengan tilawah tetap terjaga padahal banyak wakil rakyat yang sudah lupa gerakan shalat dan atau bacaan iqra’. Mereka dianggap aneh karena tampilan yang sederhana, naik motor supra dan bahkan menumpang angkot walu ada juga yang bermobil sedan menuju gedung megah wakil rakyat yang terhormat. Aneh, asing dan langka tak dikenal, siapa mereka…???

Dagelan politik rutin lima tahunan, berisi lawakan-lawakan tak lucu para politisi yang sibuk memainkan “yoyo” dan “gasing”. Membius rakyat yang hanya tahu urusan perut tanpa peduli halal dan haram. Lagu yang dinyanyikan tak pernah berubah, dengan lirik yang sama “kau yang memulai kau yang mengakhiri, kau yang berjanji kau yang mengingkari.” Lirik berisi janji dan hayalan kosong yang melenakan. Sok peduli wong cilik, sumbang sana-sumbang sini, bantu sana-bantu sini, padahal dialah wong licik yang memanfaatkan kebutaan rakyat yang mau saja dibodohi dan tertipu recehan sepuluh ribu untuk dibayar dengan kesengsaraan dan himpitan hidup lima tahun ke depan. Lihatlah para caleg itu, bak selebriti memampang baliho dan spanduk berisi foto diri dengan senyum semanis mungkin, berisi ajakan contreng nomor sekian. Di antara mereka menelingkung kawan seiring, menggunting dalam lipatan, berebut pengaruh dan menebar simpati untuk mencapai suara mayoritas, hasil putusan MK (Mahakamah Konstitusi) yang menganulir kebijakan nomor urut padahal sudah keluar puluhan juta demi membeli nomor tiket “pasti’ jadi. Malang sungguh mereka.

Tak kalah semangat dengan para “selebriti dadakan” mereka. Partai-partai politik yang hanya muncul lima tahunan pun ikut berlomba. Bendera beragam warna dan lambang menjejal sesak jalan-jalan dan trotoar. Hanyut dalam eforia demokrasi yang tak jelas mau di bawa ke mana. Tak tahu malu mereka, merasa paling berjasa dengan menebar iklan-iklan politik fiktif agar rakyat percaya bahwa merekalah yang terbaik, padahal dicaci dan dicemooh. Buram wajah sebagian besar partai politik Indonesia. Yang lama takut terancam dan turun tahta, sementara mereka yang baru menghujat dan mencaci seolah kaya prestasi. Partai baru wajah lama, lakon yang dimainkan. Apatah bedanya...???

Aku pernah berujar, “kalau mau tahu wajah Indonesia, lihatlah wakil rakyatnya…!” Ya, lihatlah wakil rakyatnya, karena mereka utusan rakyat sesuai pilihan “hati nurani.” Mayoritas anggota dewan bermuka tembok, berkulit kebo dan berhidung belang boleh jadi mencerminkan akhlak mayoritas rakyat bangsa ini. Kehilangan jati diri. Terus-menerus mau dibodohi. Para elit yang hanya mempertontonkan dagangan-dagangan politik yang menghantarkan mereka ke ruang sidang. Bukan sidang paripurna yang membahas undang-undang negara, tapi ruang sidang lainnya yang menempatkan mereka sebagai pesakitan menunggu vonis mendiami hotel prodeo.

Akan halnya “kaum putihan” (golput) yang tak selera dengan ragam selogan tawaran partai politik. Memilih untuk tidak memilih. Laksana penghuni rimba belantara yang tiba-tiba masuk kota, tak tahu harus mengarah kemana dimana. Lucu rasanya, hampir berlalu 11 tahun reformasi tapi buta situasi. Tak punya pilihan, tapi menuntut kesejahteraan. Pada siapa…? Tak salah sepenuhnya, karena boleh jadi orang-orang shaleh di republik ini terlalu “tawadhu” untuk memperkenalkan diri, tak dikenal. Takut dibilang ambisi dan haus kekuasaan. Padahal hingar-bingar politik Indonesia bukanlah republik mimpi yang menawarkan ragam wacana minim solusi. Cukuplah bendahara negeri Mesir, Yusuf ‘alaihissalam contoh teladan. Bukan untuknya, tapi demi rakyat yang dipimpinnya.

Bangkit negeriku, harapan itu masih ada…!!! Dari masjid-masjid kampus mereka berasal, jaminan kualitas, kaya prestasi dan akhlak teruji. Jenuh dengan harga diri bangsa yang tergadai tak berharga. Jadi TKI hanya untuk ditindas dan disiksa, pulang membawa jasad tanpa nyawa. Dari masjid-masjid kampus mereka berasal, membawa selogan Bersih, Peduli dan ProfesionalBersih, menandakan kebersihan hati dan jiwa, menolak harta haram rayuan syaitan kekuasaan. Peduli, menampakan rasa kasih dan sayang, cinta yang tak harap pamrih dan balas jasa dari rakyat yang dibelanya. Professional, menunjukkan kualitas diri berdaya saing, kredibel dan kompeten mengelola ragam masalah bangsa. Dari masjid-masjid kampus mereka berasal, mengusung nilai-nilai kebenaran bersandar dua pedoman mutlak Al-Qur’an dan Sunnah. Dari masjid-masjid kampus mereka berasal, mengibarkan bendera perubahan yang semakin kokoh terpancang penuh ekspektasi bernama Partai Keadilan Sejahtera.

0 komentar:

Posting Komentar