Siapa
mereka, tiba-tiba tampil fenomenal ke permukaan? Tak dikenal dan tak
tahu dari mana asalnya, namun segera saja mengejutkan dan menggetarkan
para elit politik busuk bangkotan berperut buncit timbunan lemak,
hasil korupsi bahan bakar api jahanam. Dalam gelap pekat partai-partai
politik yang lebih banyak dihuni tikus berdasi pengeruk harta rakyat
yang terjepit harga sembako yang semakin melambung, biaya pendidikan
yang semakin meningkat, ongkos kesehatan yang semakin menanjak dan
sejumput tekanan persoalan hidup lainnya yang kusut melilit, mereka
tampil ibarat setitik cercah cahaya di kejauhan yang terus melebar
dekat, membesar bagai gelombang tak terbendung.
Unique and unpredictable,
generasi baru berwajah teduh, berjenggot tipis dan berjilbab lebar
bentukan kelompok kecil melingkar ruang segi empat hasil didikan (baca: tarbiyah)
masjid-masjid kampus yang selama ini tak dikenal seketika melebar
sayap. Aqidah yang kokoh dan fikrah yang terasah yang terpendam puluhan
tahun bak mutiara di dasar laut menuntut pembuktian eksistensinya dalam
carut-marut ranah politik Indonesia. Unique and unpredictable,
menghadirkan budaya politik baru yang aneh, asing dan langka tak
dikenal. Bagi sebagian besar politisi berotak kotor yang dijejali
doktrin “aji mumpung”, mereka dianggap gila karena menolak uang suap dan
atau fasilitas rumah dan mobil mewah. Mereka dianggap asing karena
berdiri shalat di ruang sidang paripurna dengan tilawah tetap terjaga
padahal banyak wakil rakyat yang sudah lupa gerakan shalat dan atau
bacaan iqra’. Mereka dianggap aneh karena tampilan yang
sederhana, naik motor supra dan bahkan menumpang angkot walu ada juga
yang bermobil sedan menuju gedung megah wakil rakyat yang terhormat.
Aneh, asing dan langka tak dikenal, siapa mereka…???
Dagelan
politik rutin lima tahunan, berisi lawakan-lawakan tak lucu para
politisi yang sibuk memainkan “yoyo” dan “gasing”. Membius rakyat yang
hanya tahu urusan perut tanpa peduli halal dan haram. Lagu yang
dinyanyikan tak pernah berubah, dengan lirik yang sama “kau yang memulai kau yang mengakhiri, kau yang berjanji kau yang mengingkari.” Lirik berisi janji dan hayalan kosong yang melenakan. Sok peduli wong cilik, sumbang sana-sumbang sini, bantu sana-bantu sini, padahal dialah wong licik yang
memanfaatkan kebutaan rakyat yang mau saja dibodohi dan tertipu recehan
sepuluh ribu untuk dibayar dengan kesengsaraan dan himpitan hidup lima
tahun ke depan. Lihatlah para caleg itu, bak selebriti memampang baliho
dan spanduk berisi foto diri dengan senyum semanis mungkin, berisi
ajakan contreng nomor sekian. Di antara mereka menelingkung kawan
seiring, menggunting dalam lipatan, berebut pengaruh dan menebar simpati
untuk mencapai suara mayoritas, hasil putusan MK (Mahakamah Konstitusi)
yang menganulir kebijakan nomor urut padahal sudah keluar puluhan juta
demi membeli nomor tiket “pasti’ jadi. Malang sungguh mereka.
Tak
kalah semangat dengan para “selebriti dadakan” mereka. Partai-partai
politik yang hanya muncul lima tahunan pun ikut berlomba. Bendera
beragam warna dan lambang menjejal sesak jalan-jalan dan trotoar. Hanyut
dalam eforia demokrasi yang tak jelas mau di bawa ke mana. Tak tahu
malu mereka, merasa paling berjasa dengan menebar iklan-iklan politik
fiktif agar rakyat percaya bahwa merekalah yang terbaik, padahal dicaci
dan dicemooh. Buram wajah sebagian besar partai politik Indonesia. Yang
lama takut terancam dan turun tahta, sementara mereka yang baru
menghujat dan mencaci seolah kaya prestasi. Partai baru wajah lama,
lakon yang dimainkan. Apatah bedanya...???
Aku pernah berujar, “kalau mau tahu wajah Indonesia, lihatlah wakil rakyatnya…!” Ya,
lihatlah wakil rakyatnya, karena mereka utusan rakyat sesuai pilihan
“hati nurani.” Mayoritas anggota dewan bermuka tembok, berkulit kebo dan
berhidung belang boleh jadi mencerminkan akhlak mayoritas rakyat bangsa
ini. Kehilangan jati diri. Terus-menerus mau dibodohi. Para elit yang
hanya mempertontonkan dagangan-dagangan politik yang menghantarkan
mereka ke ruang sidang. Bukan sidang paripurna yang membahas
undang-undang negara, tapi ruang sidang lainnya yang menempatkan mereka
sebagai pesakitan menunggu vonis mendiami hotel prodeo.
Akan
halnya “kaum putihan” (golput) yang tak selera dengan ragam selogan
tawaran partai politik. Memilih untuk tidak memilih. Laksana penghuni
rimba belantara yang tiba-tiba masuk kota, tak tahu harus mengarah
kemana dimana. Lucu rasanya, hampir berlalu 11 tahun reformasi tapi buta
situasi. Tak punya pilihan, tapi menuntut kesejahteraan. Pada siapa…?
Tak salah sepenuhnya, karena boleh jadi orang-orang shaleh di republik
ini terlalu “tawadhu” untuk memperkenalkan diri, tak dikenal.
Takut dibilang ambisi dan haus kekuasaan. Padahal hingar-bingar politik
Indonesia bukanlah republik mimpi yang menawarkan ragam wacana minim
solusi. Cukuplah bendahara negeri Mesir, Yusuf ‘alaihissalam contoh teladan. Bukan untuknya, tapi demi rakyat yang dipimpinnya.
Bangkit
negeriku, harapan itu masih ada…!!! Dari masjid-masjid kampus mereka
berasal, jaminan kualitas, kaya prestasi dan akhlak teruji. Jenuh dengan
harga diri bangsa yang tergadai tak berharga. Jadi TKI hanya untuk
ditindas dan disiksa, pulang membawa jasad tanpa nyawa. Dari
masjid-masjid kampus mereka berasal, membawa selogan Bersih, Peduli dan Profesional. Bersih, menandakan kebersihan hati dan jiwa, menolak harta haram rayuan syaitan kekuasaan. Peduli, menampakan rasa kasih dan sayang, cinta yang tak harap pamrih dan balas jasa dari rakyat yang dibelanya. Professional,
menunjukkan kualitas diri berdaya saing, kredibel dan kompeten
mengelola ragam masalah bangsa. Dari masjid-masjid kampus mereka
berasal, mengusung nilai-nilai kebenaran bersandar dua pedoman mutlak
Al-Qur’an dan Sunnah. Dari masjid-masjid kampus mereka berasal,
mengibarkan bendera perubahan yang semakin kokoh terpancang penuh
ekspektasi bernama Partai Keadilan Sejahtera.
0 komentar:
Posting Komentar