dakwatuna.com –
Apa
yang Tuan fikirkan tentang seorang laki-laki berperangai amat mulia,
yang lahir dan dibesarkan di celah-celah kematian demi kematian
orang-orang yang amat mengasihinya? Lahir dari rahim sejarah, ketika
tak seorangpun mampu mengguratkan kepribadian selain kepribadiannya
sendiri. Ia produk ta’dib Rabbani (didikan Tuhan) yang menantang mentari
dalam panasnya dan menggetarkan jutaan bibir dengan sebutan namanya,
saat muadzin mengumandangkan suara adzan.
Di rumahnya tak dijumpai
perabot mahal. Ia makan di lantai seperti budak, padahal raja-raja
dunia iri terhadap kekokohan struktur masyarakat dan kesetiaan
pengikutnya. Tak seorang pembantunya pun mengeluh pernah dipukul atau
dikejutkan oleh pukulannya terhadap benda-benda di rumah. Dalam
kesibukannya ia masih bertandang ke rumah puteri dan menantu
tercintanya, Fathimah Azzahra dan Ali bin Abi Thalib. Fathimah merasakan
kasih sayangnya tanpa membuatnya jadi manja dan hilang kemandirian.
Saat Bani Makhzum memintanya membatalkan eksekusi atas jenayah seorang
perempuan bangsawan, ia menegaskan: Sesungguhnya yang membuat binasa
orang-orang sebelum kamu ialah, apabila seorang bangsawan mencuri mereka
biarkan dia dan apabila yang mencuri itu seorang jelata mereka
tegakkan hukum atasnya. Demi Allah, seandainya Fathimah anak Muhammad
mencuri, maka Muhammad tetap akan memotong tangannya.”
Hari-hari penuh kerja dan
intaian bahaya. Tapi tak menghalanginya untuk –lebih dari satu dua
kali- berlomba jalan dengan Humaira, sebutan kesayangan yang ia berikan
untuk Aisyah binti Abu Bakar Asshiddiq. Lambang kecintaan, paduan
kecerdasan, dan pesona diri dijalin dengan hormat dan kasih kepada
Asshiddiq, sesuai dengan namanya “si Benar”. Suatu kewajaran yang
menakjubkan ketika dalam sibuknya ia masih menyempatkan memerah susu
domba atau menambal pakaian yang koyak. Setiap kali para sahabat atau
keluarganya memanggil ia menjawab: “Labbaik”. Dialah yang terbaik dengan
prestasi besar di luar rumah, namun tetap prima dalam status dan
kualitasnya sebagai “orang rumah”.
Di bawah pimpinannya, laki-laki
menemukan jati dirinya sebagai laki-laki dan pada saat yang sama
perempuan mendapatkan kedudukan amat mulia. “Sebaik-baik kamu ialah yang
terbaik terhadap keluarganya dan akulah orang terbaik di antara kamu
terhadap keluargaku.” “Tak akan memuliakan perempuan kecuali seorang
mulia dan tak akan menghina perempuan kecuali seorang hina.” demikian
pesannya.
Di sela 27 kali pertempuran yang
digelutinya langsung (ghazwah) atau dipanglimai sahabatnya (sariyah)
sebanyak 35 kali, ia masih sempat mengajar Al-Qur’an, sunnah, hukum,
peradilan, kepemimpinan, menerima delegasi asing, mendidik
kerumahtanggaan bahkan hubungan yang paling khusus dalam keluarga tanpa
kehilangan adab dan wibawa. Padahal, masa antara dua petempuran itu
tak lebih dari 1,7 bulan.
Setiap kisah yang dicatat dalam
hari-harinya selalu bernilai sejarah. Suatu hari datanglah ke masjid
seorang Arab gunung yang belum mengerti adab di masjid. Tiba-tiba ia
kencing di lantai masjid yang berbahan pasir. Para sahabat sangat murka
dan hampir saja memukulnya. Sabdanya kepada mereka : “Jangan, biarkan
ia menyelesaikan hajatnya.” Sang Badui terkagum, ia mengangkat
tangannya, “Ya Allah, kasihilah aku dan Muhammad. Jangan kasihi
seorangpun bersama kami.” Dengan tersenyum ditegurnya Badui tadi agar
jangan mempersempit rahmat Allah.
Ia kerap bercengkerama dengan
para sahabatnya, bergaul dekat, bermain dengan anak-anak, Bahkan
memangku balita mereka di pangkuannya. Ia terima undangan mereka: yang
merdeka, budak laki-laki atau budak perempuan, serta kaum miskin. Ia
jenguk rakyat yang sakit jauh di ujung Madinah. Ia terima permohonan
maaf orang.
Ia selalu lebih dulu memulai
salam dan menjabat tangan siapa yang menjumpainya dan tak pernah
menarik tangan itu sebelum sahabat tersebut yang menariknya. Tak pernah
menjulurkan kaki di tengah sahabatnya hingga menyempitkan ruang bagi
mereka. Ia muliakan siapa yang datang, kadang dengan membentangkan
bajunya. Bahkan ia berikan alas duduknya dan dengan sungguh-sungguh ia
panggil mereka dengan nama yang paling mereka sukai. Ia beri mereka
kuniyah (sebutan bapak atau ibu si Fulan). Tak pernah ia memotong
pembicaraan orang, kecuali sudah berlebihan. Apabila seseorang
mendekatinya saat ia shalat, ia cepat selesaikan shalatnya dan segera
bertanya apa yang diinginkan orang itu.
Pada suatu hari dalam
perkemahan tempur ia berkata: “Seandainya ada seorang saleh mau
mengawalku malam ini”. Dengan kesadaran dan cinta, beberapa sahabat
mengawal kemahnya. Di tengah malam terdengar suara gaduh yang
mencurigakan. Para sahabat bergegas ke sumber suara. Ternyata ia telah
ada disana mendahului mereka, tegak diatas kuda tanpa pelana, “Tenang,
hanya angin gurun,” hiburnya. Nyatalah bahwa keinginan ada pengawal itu
bukan karena ketakutan atau pemanjaan diri, tetapi pendidikan disiplin
dan loyalitas.
Ummul Mukminin Aisyah ra.
berkata: “Rasulullah SAW wafat tanpa meninggalkan makanan apapun yang
bisa dimakan makhluk hidup, selain setengan ikat gandum di
penyimpananku. Saat ruhnya dijemput, baju besinya masih digadaikan
kepada seorang Yahudi untuk harga 30 gantang gandum.”
Sungguh ia berangkat haji dengan
kendaraan yang sangat sederhana dan pakaian tak lebih harganya dari 4
dirham, seraya berkata, “Ya Allah, jadikanlah ini haji yang tak
mengandung riya dan sum’ah.”
Pada
kemenangan besar saat Makkah ditaklukkan, dengan sejumlah besar
pasukan muslimin, ia menundukkan kepala, nyaris menyentuh punggung
untanya sambil selalu mengulang-ulang tasbih, tahmid dan istighfar. Ia
tidak mabuk kemenangan.
Betapapun sulitnya mencari
batas bentangan samudera kemuliaan ini, namun beberapa kalimat ini
membuat kita pantas menyesal tidak mencintainya atau tak menggerakkan
bibir mengucap shalawat atasnya: “Semua nabi mendapatkan hak untuk
mengangkat doa yang takkan ditolak dan aku menyimpannya untuk umatku
kelak di padang mahsyar nanti.”
Ketika masyarakat Thaif menolak
dan menghinakannya, malaikat penjaga bukit menawarkan untuk menghimpit
mereka dengan bukit. Ia menolak, “Kalau tidak mereka, aku berharap
keturunan di sulbi mereka kelak akan menerima dakwah ini, mengabdi
kepada Allah saja dan tidak menyekutukan-Nya dengan apapun.”
Mungkin dua kata kunci ini
menjadi gambaran kebesaran jiwanya. Pertama, Allah, sumber kekuatan
yang Maha dahsyat, kepada-Nya ia begitu refleks menumpahkan semua
keluhannya. Ini membuatnya amat tabah menerima segala resiko
perjuangan; kerabat yang menjauh, sahabat yang membenci, dan khalayak
yang mengusirnya dari negeri tercinta. Kedua, Ummati, hamparan akal,
nafsu dan perilaku yang menantang untuk dibongkar, dipasang,
diperbaiki, ditingkatkan dan diukirnya.
Ya,
Ummati, tak cukupkah semua keutamaan ini menggetarkan hatimu dengan
cinta, menggerakkan tubuhmu dengan sunnah dan uswah serta mulutmu
dengan ucapan shalawat? Allah tidak mencukupkan pernyataan-Nya bahwa Ia
dan para malaikan bershalawat atasnya (QS.Al Ahzab: 56), justru Ia
nyatakan dengan begitu “vulgar” perintah tersebut, “Wahai orang-orang
yang beriman, bershalawatlah atasnya dan bersalamlah dengan
sebenar-benar salam.”
Allahumma shalli ‘alaihi wa’ala aalih! (KH. Rahmat Abdullah)
0 komentar:
Posting Komentar